DEFINISI HAM (HAK ASASI MANUSIA) menurut para ahli.
Pengertian HAM menurut John Locke.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap
orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1
angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM).
Menurut Jack Donnely, hak asasi
manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.
Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya
sebagai manusia.
Sementara Meriam Budiardjo,
berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan
masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas
dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena itu bersifat universal.
Nilai universal ini yang kemudian
diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional di berbagai negara untuk
dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusian. Bahkan nilai universal
ini dikukuhkan dalam intrumen internasional, termasuk perjanjian internasional
di bidang HAM.
Sementara dalam ketentuan menimbang
huruf b Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa
hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas
oleh siapapun.
Mengenai perkembangan pemikiran hak
asasi manusia, Ahli hukum Perancis, Karel Vasak mengemukakan perjalanan hak
asasi manusia dengan mengklasifikasikan hak asasi manusia atas tiga generasi
yang terinspirasi oleh tiga tema Revolusi Perancis, yaitu : Generasi Pertama;
Hak Sipil dan Politik (Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite). Tiga generasi ini
perlu dipahami sebagai satu kesatuan, saling berkaitan dan saling melengkapi.
Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang
lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu.
Ketiga generasi hak asasi manusia tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Hak asasi manusia generasi pertama, yang mencakup soal
prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan
sipil dan politik. Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, hak
kebebasan bergerak, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir,
beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran, hak
bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari hukum yang
berlaku surut dsb. Hak-hak generasi pertama ini sering pula disebut sebagai
“hak-hak negatif” karena negara tidak boleh berperan aktif (positif)
terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan
kebebasan tersebut.
2. Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai
hak asasi manusia Generasi Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula
upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan
kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik,
hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain
sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya
‘International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights’ pada tahun
1966. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang
layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak
atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat
dsb. Dalam pemenuhan hak-hak generasi kedua ini negara dituntut bertindak lebih
aktif (positif), sehingga hak-hak generasi kedua ini disebut juga sebagai
“hak-hak positif”.
3. Hak-hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas “hak
solidaritas”” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih
negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang
adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang
menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang
kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut :
- Hak atas
pembangunan.
- Hak atas
perdamaian.
- Hak atas sumber
daya alam sendiri.
- Hak atas lingkungan
hidup yang baik.
- Hak atas warisan
budaya sendiri.
DEFINISI HAM yang Sejati.
Hak asasi manusia merupakan salah satu frase yang paling
sering diucapkan dalam enam dekade ini. Sayangnya, sering kali istilah tersebut
tidak digunakan dalam konteks yang tepat, sehingga malah mengaburkan makna
sejatinya. Berikut ini sebuah ilustrasi ekstrim yang mestinya bisa
menggambarkan apa sesungguhnya hak asasi manusia itu…
Seandainya anda menampar pipi saya, sebenarnya anda tidaklah
melanggar hak asasi saya. Tapi, pemerintah negara ini wajib memiliki aturan
yang melarang anda menampar pipi saya, serta siap menghukum anda jika sampai
menampar pipi saya. Jika pemerintah tidak memiliki aturan tersebut, atau tidak
berupaya menegakkannya, maka pemerintahlah yang melanggar hak asasi saya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa obyek hukum dari hak asasi
manusia adalah pemerintahan negara. Kenapa? Jawabannya ada pada sistem
Westphalia.
Perjanjian Westphalia tahun 1648 mengukuhkan kedaulatan bagi
setiap negara bangsa. Dalam sistem ini, pemerintahan negara punya wewenang
tertinggi untuk membuat dan menjalankan segala regulasi yang mengikat semua
warga di wilayahnya. Jadi, tidak ada instrumen eksternal apapun yang bisa
mengatur pemerintahan negara.
Dalam perkembangannya, hal ini menimbulkan berbagai problem.
Pemerintahan negara merasa berhak memperlakukan warganya dengan cara apapun,
tanpa halangan dari negara lain. Akibatnya, sering terjadi beragam represi oleh
pemerintahan negara terhadap warganya sendiri.
Represi semacam ini ternyata memiliki implikasi eksternal.
Warga di negara lain—terutama negara tetangganya atau negara yang punya
kesamaan identitas primordial—bisa saja merasa simpati terhadap korbannya,
sehingga mendorong pemerintahnya sendiri untuk melakukan suatu terhadap
pemerintah negara represif tersebut, hingga termasuk menyatakan perang. Apa
yang tadinya dianggap sebagai urusan domestik pun menjadi isu internasional.
Hal seperti ini banyak terjadi dalam tiga abad setelah
Perjanjian Westphalia. Yang paling parah adalah dalam Perang Dunia I dan Perang
Dunia II. Seusai Perang Dunia I, masyarakat internasional telah mencoba
merumuskan hukum yang mengikat pemerintahan negara mengenai perlakuan terhadap
warganya. Dari situ, lahirlah League of Nations.
Tapi, liga ini tidak bertahan lama dan pecahlah Perang Dunia
II. Ketika perang ini berakhir, masyarakat internasional mengevaluasi kelemahan
konsep terdahulu, lalu menata kembali perdamaian dunia melalui United Nations.
Kali ini, mereka juga mengeluarkan suatu standar internasional yang kita kenal
sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948.
Jadi, hak asasi manusia adalah suatu perangkat hukum
supranasional untuk memaksa setiap pemerintahan negara untuk menghormati
hak-hak paling mendasar bagi manusia yang menjadi warganya. Konsep ini
selanjutnya mengatur bagaimana pemerintah membuat dan melaksanakan aturan
mengenai perlakuan terhadap warganya.
Jika kembali kepada ilustrasi di atas, konsep hak asasi
manusia melindungi saya, dengan cara “memaksa” pemerintah untuk melindungi
saya. Yang bisa dikatakan melanggar hak asasi manusia hanyalah pemerintah
beserta aparatnya. Penamparan pipi oleh anda terhadap saya adalah pelanggaran
hukum biasa, yang cukup ditangani oleh hukum kriminal. Seandainya anda
merupakan aparat pemerintah dan menampar saya sebagai suatu “kebijakan negara”
(bukan pelanggaran disiplin), anda bisa juga dianggap melakukan pelanggaran hak
asasi manusia dan harus berhadapan dengan perangkat hukum hak asasi manusia.
Tapi, pelaksanaan konsep hak asasi manusia tidak berjalan
mulus. Hambatan berasal dari dua pihak, yaitu pihak yang tidak setuju dengan
konsep hak asasi manusia dan pihak yang belum benar-benar memahaminya. Pihak
pertama terutama berideologi fasis, komunis, dan theokratis.
Bagi mereka, konsep hak asasi manusia adalah penghalang
hegemoni yang sedang mereka pegang (atau mereka incar). Jika rakyat mendapat
hak-hak tersebut, kekuasaan mereka akan berkurang. Karena itu, mereka
mengusahakan agar rakyat tidak mengenal hak asasi manusia, atau memiliki
pandangan negatif terhadapnya.
Yang paling sering diutarakan adalah bahwa hak asasi manusia
merupakan “konspirasi asing untuk menghancurkan negara”. Apapun yang mereka
lakukan terhadap rakyat adalah cara terbaik bagi negara tersebut, dan
pembatasan kekuasaan pemerintah dalam konsep hak asasi manusia justru merupakan
ancaman bagi negara. Karena itu, para aktivis hak asasi manusia dianggap
subversif dan ditindas.
Agar propaganda anti-hak asasi manusia ini bisa diterima
oleh rakyatnya, mereka bisa menggunakan dalih budaya atau agama. Sering sekali
dikatakan bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan nilai-nilai budaya atau
agama, sehingga tidak layak dianut. Untuk menghadapi stigma semacam ini, mantan
Sekretaris Jenderal United Nations Kofi Annan dalam pidato peringatan 50 tahun
deklarasi universal pada tanggal 10 Desember 1997 menyatakan bahwa:
“Hak asasi manusia adalah ekspresi dari tradisi toleran yang
bisa ditemui di semua kebudayaan, dan merupakan dasar bagi perdamaian dan
kemajuan. Bila dipahami dengan benar dan adil, hak asasi manusia bukan hal yang
asing bagi setiap kebudayaan dan telah ada di semua bangsa di dunia.”
Ketika masyarakat dunia semakin menerima konsep hak asasi
manusia, pihak penentangnya kemudian mengambil strategi baru, yaitu merancukan
definisinya. Konsep hak asasi manusia sengaja dijadikan tidak jelas dan
tumpang-tindih dengan konsep hukum lain.
Segala sesuatu kemudian dikaitkan dengan hak asasi manusia
secara tidak proporsional. Jika ada keributan umum dan ada warga yang menyerang
aparat negara, dikatakan bahwa warga tadi melanggar hak asasi si aparat negara.
Bahkan, jika ada warga yang kecopetan, si pencopet dibilang melanggar hak asasi
manusia. Padahal, pemerintahlah yang sebenarnya melanggar hak asasi manusia
seandainya tidak berusaha menindak si pencopet.
Dari sini bisa dilihat bahwa asosiasi antara konsep hak
asasi manusia dengan pemerintah hendak dihilangkan. Pelanggaran hak asasi
manusia dan pelanggaran hukum kriminal jadi campur-aduk. Akibatnya, pelanggaran
hak asasi manusia yang sebenarnya tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran hak
asasi manusia. Dan pemerintah tidak lagi dianggap terikat oleh konsep hak asasi
manusia.
Inilah yang saya sebutkan di awal artikel ini.
Kerancuan konsep hak asasi manusia juga disebabkan oleh
penggunaan hak asasi manusia sebagai dalih untuk melanggar hak asasi manusia.
Hal ini sering dipraktikkan oleh Amerika Serikat, yang secara sepihak mengklaim
diri sebagai kampiun penegakan hak asasi manusia.
Selama era Perang Dingin, Amerika menghadapi Blok Komunis
yang terang-terangan menentang konsep hak asasi manusia. Nah, dalam memerangi
kaum komunis tersebut, Amerika menghalalkan segala cara. Misalnya, bekerja sama
dengan tokoh-tokoh anti-komunis yang sebenarnya juga tidak sepakat dengan hak
asasi manusia. Contohnya adalah Augusto Pinochet di Chili, Ferdinand Marcos di
Filipina, dan Soeharto di negara kita sendiri. Komunis memang tidak berkuasa di
negara-negara tersebut, tapi pelanggaran hak asasi manusia juga tetap terjadi,
karena mereka hanya berorientasi pada kekuasaan.
Setelah peristiwa 9/11, rejim George W Bush kembali
melakukan kesalahan yang sama, jika tidak bisa dibilang lebih parah. Para
tawanan perang di Afghanistan dan Irak mendapat perlakuan sangat buruk, yang
paling terkenal di penjara Abu Ghraib dan kamp Guantanamo. Segala kekejian
tersebut segera dieksploitasi oleh para penentang konsep hak asasi manusia.
“Hak asasi manusia itu hipokrit,” demikian propaganda
mereka. Ucapan Bush Jr yang sering menggunakan jargon hak asasi manusia hanya
membuat stigma tersebut semakin buruk dan melekat. Hak asasi
manusia—sebagaimana konsep kemasyarakatan apapun—memang bisa dimanipulasi oleh
pihak-pihak yang sebenarnya bertentangan dengan konsep tersebut. Hal inilah
yang perlu dinetralisir oleh para pengusung konsep hak asasi manusia yang
sejati.
Sebelum citra konsep hak asasi manusia semakin buruk dan
tidak bisa efektif lagi, para pelanggar “dari kubu sendiri” seperti ini perlu
disikapi secara tegas. Prancis dan Jerman, misalnya, telah dengan sigap menjaga
jarak dengan rejim Bush Jr dalam kasus invasi ke Iraq. Bahkan, mereka kini
sibuk mengajukan tuntutan kepada CIA yang telah melanggar kedaulatan ketika
mendaratkan pesawat terbang berisi tawanan terorisme tanpa izin di
bandara-bandara Eropa.
Dalam masyarakat internasional yang bertumpu pada sistem
Westphalia ini, aksi pengucilan bisa menjadi senjata ampuh untuk menghukum para
“trouble maker“. Negara-negara berstatus superpower pun tidak akan kebal
terhadap aksi ini, karena bagaimanapun juga ekonomi mereka—yang menyokong
kekuatan mereka—tetap tergantung kepada masyarakat internasional. Selanjutnya,
tinggal menunggu tekanan internasional ini menghasilkan tekanan domestik yang
memaksa pemerintah memperbaiki kebijakannya (atau rejimnya diganti).
Hal ini sudah terbukti ampuh di Amerika dalam pemilihan
presiden lalu. Rakyat Amerika gerah juga bahwa Bush Jr beserta rejim
hawkish-nya menyeret citra negara ke titik nadir, di mana Amerika kehilangan
legitimasinya untuk menyuarakan hak asasi manusia. Belum lagi ditambah
kesulitan ekonomi, gara-gara keuangan negara dihabiskan untuk membiayai perang
sendirian yang tidak didukung oleh masyarakat internasional. Maka, bisa kita
melihat bagaimana para pengikut Bush Jr dari Partai Republik gagal mendudukkan
para calon barunya di Gedung Putih.
Kembali ke hak asasi manusia, yang tak kalah pentingnya
adalah penyebarluasan konsep dalam makna yang sejati ini ke seluruh manusia di
dunia melalui proses edukasi yang sistematis. Manusia yang telah menyadari hak
asasinya diharapkan bisa berusaha menjaga sendiri hak asasinya tersebut,
sekaligus menghormati hak asasi manusia lain.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Momentum yang
dibangun oleh Indonesia selama Keketuaan Indonesia di ASEAN, yaitu sebagai
sebuah kawasan yang sangat damai, aman, tumbuh dengan cepat, dan sangat
menjanjikan, saya kira kurang lengkap kalau tidak ramah dengan HAM.
Inilah yang
dicoba oleh saya bersama-sama dengan teman-teman di “Komisi HAM ASEAN” dengan
10 negara yang memiliki latar belakang dan tingkat demokrasi yang berbeda-beda,
namun demikian kita tetap mencoba membahas kebijakan bagaimana HAM bisa
dikembangkan dalam konteks ASEAN.
Tentunya ini
bukan sebuah pekerjaan yang mudah, tetapi tahapan-tahapan bahwa ASEAN yang
damai dan menjanjikan bagi pertumbuhan ekonomi, ramah terhadap HAM, berupaya
melindungi buruh migran yang ada di wilayah ASEAN dan berupaya untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat ASEAN yang berjumlah sekitar 600 juta
orang, saya kira itu bisa terlaksana pada suatu hari nanti.
Memang bagi
masyarakat kecil dan juga teman-teman di kelompok-kelompok HAM dan kemanusiaan,
mereka melihat bahwa perkembangan yang terjadi berjalan sangat lamban. Tetapi
kalau kita mengenal dan melihat ASEAN dengan baik, maka proses yang berjalan
setahap demi setahap itu akan sangat terasa sekali jika kita amati dengan
seksama. Kecermatan inilah yang dibutuhkan oleh semua pihak, termasuk oleh
media massa. Bagaimana kita melihat perkembangan ASEAN dalam konteks
keseluruhan, termasuk dalam konteks HAM.
Tadinya saya
berambisi bahwa Deklarasi HAM ASEAN bisa diselesaikan dalam Keketuaan Indonesia
di tahun 2011, tapi ternyata tidak bisa. Namun demikian pada tahun 2011 itu
kita sudah membentuk sebuah team group, yaitu kelompok yang menyusun suatu
basic draft dari Deklarasi HAM yang akan menjadi modal untuk dilakukannya perundingan
dan negosiasi di dalam tubuh Komisi HAM ASEAN yang akan dimulai pada Januari
2012 ini hingga selama Keketuaan Kamboja.
Bulan depan kami
sudah mulai dengan pertemuan pertama. Pada saat di Siem Reap kemarin, AICHR
telah melaporkan bahwa kongres tersebut akan dilakukan oleh drafting group
melalui suatu proses yang juga tidak mudah, karena tetap saja ada semacam
kehati-hatian dari beberapa anggota. Kehati-hatian inilah yang pada akhirnya
bisa menimbulkan proses yang lamban.
Saya kira hal
inilah yang kemarin berhasil kita atasi, sehingga basic draft itu sudah terkait
dan siap untuk dinegosiasikan dan didiskusikan dengan stakeholders yang lain,
yaitu masyarakat ASEAN itu sendiri yang diwakili oleh berbagai macam kelompok
di ASEAN, diantaranya ada kelompok masyarakat adat, kelompok hak-hak perempuan,
kelompok anak, kelompok buruh migran dan lain-lainnya yang kesemuanya memiliki
kepentingan terhadap Deklarasi HAM ini.
Yang menjadi
catatan paling penting adalah, bahwa Deklarasi HAM ASEAN inilah yang akan menjadi
dasar ASEAN pada 20 tahun kedepan untuk memiliki konvensi-konvensi HAM sendiri
di kawasan ASEAN. Mudah-mudahan ini dapat diselesaikan pada tahun 2012 ini dan
kemudian kami serahkan kepada para Pemimpin ASEAN pada bulan November, yaitu
pada summit yang kedua. Mudah-mudahan kalau itu sudah menjadi suatu
keberhasilan, saya kira itu adalah momentum yang benar-benar menjanjikan
mengenai ASEAN yang aman, damai dan ramah terhadap HAM.[]
Politik hukum HAM
di Indonesia berkaitan dengan kebijakan Hukum HAM dalam bentuk pemberian penghormatan,
pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM di Indonesia. Dengan kata lain Human
Rights Legal Policy berkaitan dengan how to respect, how to fulfill dan how to
protect HAM yang sejatinya merupakan hak dasar masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan kebijakan hukum HAM tersebut bisa dilakukan dalam bentuk pembuatan
peraturan perundang-undangan, perubahan peraturan perundang-undangan, pemuatan
pasal-pasal tertentu dalam peraturan perundang-undangan atau mungkin saja
pencabutan peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak mendukung penegakan
hukum HAM di Indonesia.
Kebijakan
penghormatan terhadap hukum HAM adalah kebijakan yang melarang otoritas untuk
membuat seseorang atau sekelompok orang tidak dapat memperoleh hak-haknya
sebagaimana dikehendaki dalam Hukum HAM. Sementara kebijakan pemenuhan terhadap
Hukum HAM yang dimaksud adalah adanya tindakan dari otoritas sesuai dengan
kewenangan yang dimilikinya untuk memberikan jaminan dan kepastian terwujudnya
pemenuhan hak-hak seseorang atau sekelompok orang sebagaimana dikehendaki dalam
Hukum HAM. Sedangkan yang dimaksud dengan kebijakan perlindungan adalah adanya
kebijakan dari otoritas yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak seseorang atau sekelompok orang
sebagaimana dimaksud dalam Hukum HAM.
Sangat menarik
untuk mencermati bagaimana praktek politik Hukum HAM di Indonesia sejak awal
Negara ini didirikan. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk melihat sejauhmana
komitmen bangsa Indonesia terhadap penegakan Hukum HAM di Indonesia.
Perdebatan Hukum
HAM di BPUPKI
Sebuah catatan
sejarah yang cukup kelam mengenai Hukum HAM sesungguhnya telah terjadi sejak
Negara Indonesia baru didirikan, dimana Hukum HAM telah menjadi perdebatan
apakah penting atau tidak untuk dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
Disatu sisi ada
yang menganggap bahwa Hukum HAM tidak perlu dijamin karena hak perorangan
selalu berada atau lebih rendah dari kepentingan bersama. Negara merupakan
masyarakat yang integral dimana anggota dan seluruh bagian-bagiannya merupakan
persatuan yang organis dan tidak mementingkan perseorangan. Hukum HAM dianggap
berkaitan dengan individualisme dan memberikan hak-hak kepada warga negara
bertentangan dengan kebebasan negara yang berdaulat.
Disisi lain ada
yang menganggap bahwa pengaturan mengenai Hukum HAM penting untuk dimasukkan
dalam UUD agar negara tidak menjadi negara kekuasaan sebab negara yang
diinginkan adalah negara yang didasarkan pada kedaulatan rakyat. Tanpa pengaturan
mengenai kemerdekaan warga negara maka negara sangat rentan terhadap bahaya
otoritarianisme seperti yang telah terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II.
Setelah melalui
perdebatan yang berakhir dengan kompromi akhirnya disepakati untuk memuat
beberapa pasal mengenai perlindungan terhadap hak-hak sipil dalam batang tubuh
UUD 1945. Meski demikian, patutlah menjadi catatan bahwa pencantumann Hukum HAM
di dalam UUD 1945 sejak awal telah dicurigai sebagai gaya barat yang
individualistik dan karenanya perlu diwaspadai. Demikian halnya bahwa
pencantuman Hukum HAM dalam UUD 1945 menjadi bersifat terbatas. Keterbatasan
tersebut bukan hanya dilihat dari segi muatan dimana pengaturan lebih lanjut mengenai Hukum HAM
akan diatur dengan Undang-Undang, melainkan juga dari segi konseptual, dimana
konsep yang digunakan dalam UUD 1945 adalah HAM sebagai Hak Warga Negara dan
bukan sebagai natural rights yakni hak yang dimiliki oleh manusia sejak lahir.
Konsekuensinya adalah konsep tersebut menempatkan negara sebagai regulator of
rights dan bukan sebagai guardian of
human rights.
Terlepas dari
perdebatan tersebu, pada dasarnya pengaturan mengenai Hukum HAM dalam
konstitusi Negara Indonesia memang telah pasang surut. Tercatat bahwa
Konstitusi Republik Indonesia 1949 dan UUDS 1950 yang pernah diberlakukan
selama kurang lebih 10 tahun, yakni antara tahun 1949 sampai dengan tahun 1959
memuat pasal-pasal yang lebih banyak dan lebih lengkap bila dibandingkan dengan
muatan Hukum HAM dalam UUD 1945.
Hukum HAM di Era
Orde Lama
Pada tahun 1945
hingga sekitar tahun 1950-an pemerintahan Indonesia senantiasa melaksanakan
pemerintahan yang demokratis dan menghormati HUkum HAM. Berbagai maklumat yang
dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada masa-masa itu mencerminkan kebijakan yang
demokratis dan penghormatan hak-hak asasi manusia.
Situasi tersebut
kemudian berubah setelah dilaksanakannya dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai
awal dilaksanakannya demokrasi terpimpin. Terjadi degradasi politik dan muncul
ketimpangan ekonomi serta kemiskinan rakyat dimana-mana. Kebebasan hak politik
dan hak sipil kemudian dikekang. Inilah kemudian yang menjadi bukti bahwa
lemahnya pondasi UUD 1945 dalam memberikan jaminan terhadap perlindungan hukum
HAM telah menyebabkan terjadinya kesewenang-wenangan oleh kekuasaan.
Hukum HAM pada
Era Orde Baru
Hukum-HAMKondisi
Hukum HAM di Indonesia pada masa kekuasaan pemerintahan Orde Baru tentu saja
menjadi lebih parah. Pada masa orde baru pemerintahan telah mengekang hak
berserikat, hak berekspresi dan hak berpendapat. Selain itu, pemerintahan orde
baru juga melakukan eliminasi dan mereduksi konsep HAM serta melakukan
pembunuhan dan penghilangan orang secara paksa.
Pengekangan
terhadap hak berserikat, berekspresi dan berorganisasi tersebut dapat dilihat
dalam kebijakan orde baru yang menyederhanakan partai poiltik dengan cara
meleburkan sejumlah partai politik. Selain itu dilakukan kntrol yang ketat
terhadap media massa dan organisasi-organisasi sosial serta mahasiswa.
Eliminasi dan
reduksi terhadap konsep Hukum HAM dijalankan dengan cara menjadikan
pennafsirannya terhadap Pancasilan dan UUD 1945 sebagai satu-satunya ideologi
dan cara pandang yang benar. Hukum dan HAM adalah sebagaimana yang tertuang
dalam Pancasila dan UUD 1945. Konsepsi Hukum HAM yang bersifat universal adalah
berasal dari barat yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pembunuhan dan
penghilangan orang secara paksa sebagai wujud nyata pelanggaran HAM juga
terjadi pada masa orde baru. Hal ini dapat dilihat dalam kasus pembuhan
terhadap mereka yang dianggap PKI baik secara langsung maupun tidak langsung.
Begitu pula dalam beberapa kasus pelanggaran HAM seperti yang terjadi dalam
Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari serta kasus-kasus pembunuhan yang terjadi
dalam operasi militer di Aceh dan Papua.
Hukum HAM Pasca
Orde Baru
Pemerintahan B.J
Habibie bersama dengan Kabinet Reformasi yang dibentuknya memberikan harapan
baru bagi penegakan Hukum HAM di Indonesia. Pemerintahan B.J Habibie
melaksanakan beberapa langkah strategis, diantaranya membuka sistem politik,
menunjukkan kemauan politik untuk memberikan perlindungan HAM, menghentikan
KKN, menghapus Dwi Fungsi ABRI serta melaksanakan pemilihan umum yang
demokratis dan berbagai macam langkah strategis lainnya.
Harapan terhadap
perbaikan kondisi hukum HAM di Indonesia mulai mewujud tatkala MPR sepakat
untuk memasukkan HAM dalam Bab XA yang memuat 10 Pasal mengenai HAM pada
amandemen kedua UUD 1945. Meski demikian, pengaturan mengenai Hukum HAM dalam
UUD 1945 kembali mengulang sejarah seperti yang dialami dalam BPUPKI dimana
terjadi perdebatan dan tarik ulur kepentingan politik pendukung orde baru yang
cemas akan kuatnya tuntutan untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM
yang pernah terjadi pada masa orde baru.
Sekali lagi Hukum
HAM pada era reformasi dikompromikan dan hasilnya dapa kita lihat dalam
Perubahan kedua UUD 1945, Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM, serta ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.
Saat ini juga
telah dibentuk berbagai institusi yang mendukung penegakan dan perlindungan
HAM. Kita tentunya masih berharap banyak untuk terwujudnya penguatan Hukum HAM
di Indonesia. Demikian semoga artikel mengenai hukum HAM ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar